SIMALUNGUN - Peneliti kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba bersama peneliti dari CARE LPPM Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB) menyampaikan, bahwa Kehadiran Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba mampu memberikan multiplier effects ekonomi yang cukup besar, yaitu mendekati Rp5 triliun per tahun, yang dapat mengurangi ketimpangan sosial ekonomi antar wilayah dan antar kelompok
Hal tersebut diungkapkan Ketua peneliti kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Prof. Ternala Barus dan peneliti dari CARE LPPM Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Parulian, Dr. Dahri Tanjung saat menggelar Focus Grup Discussion (FGD) di Niagara Hotel, Parapat, Kamis (02/12/2022 kemarin.
Baca juga:
Perbedaan Antara Daihatsu Rocky
|
Focus Grup Discussion (FGD) tersebut dihadiri langsung Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara Bidang Polhukam Binsar Situmorang, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Mulyadi Simatupang diwakilkan bidang budidaya, Widodo dan Kepala Dinas Perikanan se Kawasan Danau Toba dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara
Peneliti CARE LPPM Universitas Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Parulian didampingi Dr. Dahri Tanjung menyampaikan, Kehadiran Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba mampu memberikan multiplier effects ekonomi yang cukup besar terhadap masyarakat kawasan Danau Toba, Untukitu, Surat Keputusan ( SK ) Gubernur Sumatera Utara Tahun 2017 itu, perlu direvisi dan meremkomendasi 60 ribu ton Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba Pertahun, ”sebutnya
Prof Parulian juga menilai bahwa keberadaan usaha Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba cukup memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang terlibat dan menjadi usaha penopang perekonomian yang dapat bertahan, nbahkan saat masa pandemi sekalipun usaha Keramba Jaring Apung mampu bertahan
Sementara itu, Prof Ternala Barus yang juga merupakan Guru Besar Universitas Sumatera Utara ( USU) menyampaikan, “Pada dasarnya, kegiatan budidaya perikanan ini dapat dilakukan dengan syarat mengedepankan tata kelola pembangunan berkelanjutan, di mana aspek ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan beriringan. Salah satunya dengan mematuhi zona budidaya ikan KJA sesuai dengan Perpres nomor 81/2013, ”ujar Prof. Ternala.
Prof. Ternala Barus yang baru saja merampungkan penelitiannya di 2022 terkait Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba yang diinisiasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara. Dalam sosialisasinya di hadapan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Sumut, Pemerintah Kabupaten di Sekitar Danau Toba serta Dinas terkait menyampaikan bahwa, Hasil kajian Daya Dukung Danau Toba yakni sebesar 55.083, 16 ton per tahun.
“Usaha KJA terus berkembang hingga saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan produksi ikan nila di Danau Toba sebesar 80.941 ton dengan rata-rata produksi 62 ribu ton per tahunnya, belum termasuk jenis ikan lainnya yang dibudidayakan. Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto 21%.
Gubernur Sumatera Utara yang diwakili Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara Bidang Polhukam Binsar Situmorang mengatakan, pemerintah daerah tengah melakukan penataan Keramba Jaring Apung (KJA) dan langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya penertiban sejumlah KJA di beberapa titik lokasi dan penataan ini dilakukan guna mengikuti peraturan yang tengah berlaku saat ini dengan merujuk SK Gubsu 2017 tentang Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Danau Toba sebesar 10 ribu per tahun, ” subutnya
Mantan Pj. Bupati Simalungun 2015 dan 2016 itu juga menyampaikan, bahwa Keadaan kualitas perairan Danau Toba yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, kegiatan perindustrian dan perdagangan termasuk hotel, restoran dan kegiatan transportasi air.
Lebih lanjut Binsar mengatakan, penataan ini dilakukan guna mengikuti peraturan yang tengah berlaku saat ini dengan merujuk SK Gubsu 2017 tentang Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Danau Toba sebesar 10 ribu per tahun. Namun begitu, dengan adanya kajian terkini dari Dinas LH Prov. Sumut terkait DDDT yang menyebutkan sekitar 55 ribu per tahun dengan status kesuburan air yakni Mesotrofik, dapat menjadi pertimbangan dan rujukan utama dalam melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan Penataan KJA dan SK Gubernur Sumut.
Untuk itu para peneliti merekomendasikan revisi SK Gubsu 2017 dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian terbaru di atas serta pengelolaan KJA di masa yang akan datang sebaiknya KJA harus ramah lingkungan (teknologi konservasi), berstandar manajemen budidaya berkelanjutan, dan terintegrasi KJA-Pariwisata berkelanjutan, serta perlu memiliki izin.
“ Namun begitu, dengan adanya kajian terkini dari Dinas LH Sumatera Utara terkait DDDT yang menyebutkan sekitar 55 ribu per tahun dengan status kesuburan air yakni Mesotrofik, dapat menjadi pertimbangan dan rujukan utama dalam melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan Penataan KJA dan SK Gubernur Sumatera Utara itu", sebut Binsar Situmorang.( Karmel )